Penilaian Warga Mataloko: Sosialisasi Janggal, Tiba-tiba Air Tiwu Bala Dimanfaatkan Untuk Geotermal

Kabar Warga

Foto:Dok. Warga / Ratusan umat Mataloko mengikuti ritual adat di bantaran sungai Tiwu Bala, bagian dari protes sekaligus sikap penolakan terhadap rencana penyedotan air untuk proyek geotermal pada 27 Juli 2025.

Foto:Dok. Warga / Ratusan umat Mataloko mengikuti ritual adat di bantaran sungai Tiwu Bala, bagian dari protes sekaligus sikap penolakan terhadap rencana penyedotan air untuk proyek geotermal pada 27 Juli 2025.



Pemerintah Daerah Ngada bersama pihak PT. PLN (Persero) Unit Induk Pembangunan Nusa Tenggara (UIP Nusra) bersama Unit Pelaksana Proyek (UPP) Nusra 2, kembali menggelar sosialisasi pemanfaatan air sungai Tiwu Bala di desa Sadha untuk kepentingan proyek geotermal pada Rabu lalu, 20 Agustus 2025, bertempat di kantor Camat Golewa Selatan. 

Sosialisasi yang bagi sebagian warga sudah mubazir ini direspon dengan aksi pernyataan sikap penolakan warga Mataloko yang tergabung dalam Dewan Pastoral Paroki dan Forum Peduli Keutuhan Lingkungan Hidup bersama sejumlah umat Paroki St. Yosep Laja. 

Beberapa sumber yang tidak ingin disebutkan namanya, menuturkan bahwa agenda sosialisasi yang mulai diinisiasi oleh pihak pemerintah serta perusahaan, bahkan turut dihadiri langsung oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Ngada ini, terasa sangat janggal. 

"karena sosialisasi ini dibuat setelah mereka melakukan aktivitas instalasi pipa air dari setiap wellpad ke Sungai Tiwu Bala," tuturnya. Bahkan, imbuh sumber, sejak tahun 2020 ketika pihak PLN kembali beroperasi, tidak ada informasi atau sosialisasi terkait pengambilan air di sungai Tiwu Bala. 

Bahkan, dokumen amdal tahun 2021 berbeda dengan perencanaan yang sekarang. Kebutuhan air untuk geotermal itu diinformasikan dari mata air Ia yang berlokasi di desa Wae Ia kecamatan Golewa. Tiba-tiba berubah ke Tiwu bala di desa sadha.

"Anehnya, 20 Agustus 2025 baru dilakukan sosialisasi, sementara instalasi pipa sudah selesai mereka kerjakan. Tinggal beberapa titik ke antar wellpad," pungkas sumber. Terlebih lagi, jauh sebelum sosialisasi ini dilaksanakan, umat katolik keuskupan Agung Ende, telah menggelar ritual adat dan aksi 1.000 lilin di bantaran sungai Tiwu Bala pada 27 Juli 2025. 

Kala itu, ratusan umat yang berasal dari Paroki St. Yoseph Laja ikut menggelar doa bersama dengan tema "kami Muzi Pu'u Go'o Wae" (Kami Hidup dari Air) yang menegaskan bahwa air bukan hanya sekadar barang konsumsi, tetapi juga sumber dan jantung kehidupan.

Foto:Dok. Warga / Ratusan umat Mataloko mengikuti ritual adat di bantaran sungai Tiwu Bala, bagian dari protes sekaligus sikap penolakan terhadap rencana penyedotan air untuk proyek geotermal pada 27 Juli 2025.

Foto:Dok. Warga / Ratusan umat Mataloko mengikuti ritual adat di bantaran sungai Tiwu Bala, bagian dari protes sekaligus sikap penolakan terhadap rencana penyedotan air untuk proyek geotermal pada 27 Juli 2025.


Merampok Hajat Hidup Banyak Orang

Sementara itu, ritual adat yang dikenal dengan nama Leba Manu dan Ru'u menegaskan keterikatan masyarakat adar Laja dengan alam dan tanah leluhur. Leba Manu atau penyembelihan seekor ayam di sungai merupakan simbol menolak musibah, yakni ungkapan perlawanan terhadap segala bentuk kejahatan yang mengotori kesucian air dan alam yang dianugerahi oleh Sang Pencipta.

Upacara itu bagi warga, mencerminkan penyerahan penuh dan sakral atas keutuhan semesta kepada yang berhak memilikinya yaitu Tuhan dan para leluhur. Bahkan air Tiwu Bala merupakan penjaga identitas dan martabat sebagai masyarakat adat. Karena, Air Tiwu Bala mengairi sawah, kebun, dan ladang untuk lebih 400 hektare selama beratus-ratus tahun.

Dalam siaran pers warga tertanggal 27 Juli 2025 lalu, mereka menyatakan bahwa merampas air sungai Tiwu Bala demi proyek energi berarti sama halnya merampok hajat hidup orang banyak. "Bahkan memperluas kerusakan ekologis," kata mereka. 

sikap penolakan dari warga itu juga, dipertegas pada poin ketiga dalam surat yang tulis warga dan diserahkan ke pihak pemerintah saat melakukan sosialisasi di kantor camat Golewa Selatan beberapa waktu lalu. 

"Momen sosialisasi tiba terlambat. karena kami telah memutuskan dan melaksanakan Ritus Religius (Perayaan Ekaristi dan Aksi Seribu Lilin) dan Ritus Sosial Budaya (Leba Manu) di Lokasi Sungai Tiwu Bala, pada tanggal 27 Juli 2025. Sebagai pernyataan sikap tegas: kami menolak pemanfaatan air Sungai Tiwu Bala untuk mendukung Pekerjaan Drilling (pengeboran) PLTP Mataloko, dengan alasan-alasan sangat mendasar yang kami lampirkan. Dan keputusan kami dalam ritus-ritus ini tidak dapat kami ingkari atau kami batalkan lagi," tulis warga.

Untuk diketahui, pengembangan geothermal mataloko masuk tahap sosialisasi sejak tahun 2019 sampai tahun 2021, kemudian dilanjutkan dengan pembebasan lahan untuk lokasi pengeboran di tahun 2021 sampai tahun 2024.

Pada tahun 2024 hingga 2025 sudah mulai instalasi pipa. Pada tahap-tahap pengerjaan itu, tidak adanya sosialisasi terkait pengambilan air dari Tiwu Bala. Sosialisasi dilakukan setelah adanya penolakan warga disertai aksi 1000 lilin dan ritual adat Leba Manu.

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال